Bismillahirrahmanirrahim
Artikel ini tercipta berawal saat aku yang sedang semangat-semangatnya
untuk membuat blog namun belum tahu konten apa yang akan aku buat. Kemudian aku mencoba mencari inspirasi dengan
membuka blog dari beberapa public figure Yang sudah lama menapak dunia
blog dengan karya-karyanya yang inspiratif. Singkat cerita aku membaca sebuah
artikel milik Gita savitri devi (see : Ketika Realita Berasa Mimpi Posted on July 24, 2018). Dalam artikel tersebut aku menjumpai kata
Jumawa yang asing bagiku lalu aku tertarik untuk mencari dan kemudian menjadikannya
topik pada artikel ini. Seluruh isi dari artikel ini adalah pandangan secara
personal mohon untuk menyaring kembali isi dari artikel ini dan jangan
menerimanya mentah-mentah.
Jumawa, angkuh;
congkak; suka mencampuri perkara orang lain adalah sifat yang sangat mudah
mucul pada diri kita banyak faktor yang dapat menjadi pemicunya.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Maroqil
Ubudiyah menyebutkan tujuh hal yang berpotensi menjerumuskan manusia pada
sifat jumawa.
Pertama,
ilmu pengetahuan. Orang yang memiliki ilmu memiliki potensi terserang penyakit
sombong. Karena bencana ilmu adalah kecongkakan.
Kedua,
amal dan ibadah. Ulama dan ahli ibadah memungkinkan masuk dalam tiga tingkat
kesombongan. Kesombongan yang pertama ialah kesombongan yang terdapat pada
hatinya.
Ia merasa lebih baik dan telah beribadah lebih
banyak dibanding yang lain. Orang seperti ini di dalam hatinya akan tertanam syajaratul
kibar (pohon kesombongan).
Kesombongan yang kedua yaitu kesombongan yang
ditampilkan dalam perbuatannya. Seperti marah saat tidak dihormati, memalingkan
wajahnya dari orang lain dan lain sebagainya. kesombongan ketiga yang muncul
dalam perkataan.
Mengatakan kepada orang lain “siapa dia, apa
amal yang telah ia perbuat, apakah dia seorang zuhud, dan seterusnya”. Atau
berkata, “aku adalah orang yang rajin berpuasa sunah, melakukan qiyamul lail,
ilmuku lebih mumpuni karena diperoleh dari syekh ini, ini dan seterusnya”.
Ketiga,
nasab atau keturunan. Orang yang memiliki silsilah keturunan yang mulia bisa
terjerumus pada kesombongan. Ia sangat mungkin untuk merendahkan orang yang
tidak memiliki mata rantai nasab yang baik, sekalipun ia seorang alim dan baik
amalnya.
Keempat,
ketampanan atau kecantikan. Hal ini dapat menyeret pemiliknya kepada mencela
dan membuka aib atau keburukan orang lain karena merasa dirinya yang sempurna.
Kelima,
harta kekayaan. Syekh Nawawi mencontohkan seperti penguasa dengan harta
kekayaannya, pemodal dengan komoditasnya, pejabat pemerintah dengan wilayah
kekuasannya, dan orang-orang yang memperindah diri dengan pakaian dan
kendaraannya.
Keenam,
kekuatan dan menggunakannya untuk menindas yang lemah. Ketujuh,
memiliki pengikut, murid dan kerabat yang banyak. Meskipun ia sendiri tidak
memiliki kesempurnaan, akan tetapi dengan banyaknya murid dan pengikut ia bisa
terdorong bersikap sombong.
Tak bisa dipungkiri sifat Jumawa ini sangat
sulit untuk dihilangkan dari diri kita terlebih apabila ke-tujuh faktor tersebut
lekat dalam kehidupan kita sehari-hari entah itu di rumah, sekolah maupun dipergaulan
kita.
Tak perlu Jauh mengambil perumpmaan, kerap kali
dalam keluarga kita bila adik kita mencoba mengutarakan fikiran atau mencoba
berbagi sesuatu hal kepada kita terkadang muncul sikap penolakan dari kita yang
menganggap bahwa kita tentu lebih tahu darinya sehingga kita tidak bisa menjadi
pendengar yang baik.
Namun, yang menjadi menarik adalah bagaimana
kita secepat mungkin sadar ketika jumawa sudah mulai mucul dan mengambil alih
diri kita sehingga kita bisa segera sadar untuk menurunkan sedikit ego kita
untuk dapat sedikit rendah hati kepada orang lain.